SURABAYA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan kampanye politik di lingkungan kampus memicu perbincangan hangat di kalangan publik. Khususnya menjelang pemilu 2024, kampus dianggap sebagai medan potensial untuk memperoleh suara pemilih muda.
Menyikapi situasi ini, Irfa’i Afham SIP MSc dosen Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP), Universitas Airlangga (UNAIR), memberikan pandangannya. Ia merespons tentang fenomena kampanye politik yang menjalar ke dalam kampus serta dampak dan tantangannya.
Baca juga:
Zainal Bintang: Menyoal Etik Bernegara
|
Perkembangan Politik yang Dinamis
Irfa’i melihat kampanye politik di kampus sebagai cerminan dari dinamika politik yang tak terelakkan. “Saya sepakat dengan kehidupan politik yang dinamis di lingkungan kampus karena di kampus menjadi tempat lahirnya ide-ide politik besar dan alternatif dalam konteks berbangsa dan bernegara, ” ucap Irfa’i. Senin (28/8)
Baca juga:
Tony Rosyid: Pemilu Ditunda? No Way!
|
Namun, dalam pandangannya, aspek praktis jangka pendek perlu dicermati. “Batasan yang diperlukan adalah bagaimana institusi pendidikan tetap menjaga diri dari campur tangan dalam politik praktis yang hanya fokus pada kemenangan dalam pemilu. Tetapi seharusnya juga mengarah pada agenda lebih besar yang terkait dengan nasionalisme, ” tambahnya tenga kampanye politik di lingkungan kampus.
Etika dalam Kampanye Politik
Irfa’i juga menyoroti pentingnya etika dalam kampanye politik di kampus, khususnya dalam menyasar generasi muda. “Agenda anti korupsi seharusnya menjadi agenda utama dalam memperkuat budaya politik di kalangan mahasiswa, yang mencakup pembentukan karakter yang toleran dan demokratis, ” kata Irfa’i.
Baca juga:
Tony Rosyid: Anies, JIS, No Rasis
|
Sebagai seorang akademisi, Irfa’i juga tidak melupakan sejarah yang telah membentuk kondisi politik kampus saat ini. Ia menyinggung pengaruh masa otoritarian di Indonesia terhadap partisipasi politik di kampus.
“Kita mengalami 32 tahun era otoritarian di bawah pemerintahan Soeharto. Dampaknya adalah pasifnya keterlibatan politik di kampus. Mahasiswa dan dosen yang berpendapat kritis sering ada anggapan sebagai ancaman, bukan sebagai potensi untuk mengembangkan ide-ide besar dalam politik, ” ucap Irfa’i.
Tumbuhkan Budaya Kritis Mahasiswa
Mengenai dampak, Irfa’i mengamati bahwa ada potensi baik dan buruk. “Saya pikir beberapa pemilu terakhir yang mencuatkan intoleransi akan tetap melekat dalam ingatan bangsa, termasuk di kalangan pelajar. Di sini, pihak akademik harus tegas dalam mengatur batasan dan sanksi, ” katanya.
Pengalaman studi Irfa’i di Eropa menjadi sorotan penting dalam wawancara ini. Ia menggambarkan bagaimana diskusi antara mahasiswa dan aktor politik di Eropa telah membentuk kultur kritis yang sehat.
“Ketika saya belajar di Eropa, khususnya di Prancis, saya melihat suasana politik yang dinamis di mana mahasiswa, calon legislatif, calon walikota, dan calon presiden berdiskusi tentang gagasan-gagasan. Ini sangat penting dalam membangun kultur kritis di kalangan mahasiswa, ” katanya.
Dalam hal regulasi, Irfa’i berpendapat bahwa peran pemerintah dan lembaga pengawas sangat penting. “Dalam menghadapi situasi ini, kampus-kampus yang memiliki otonomi perlu merumuskan aturan yang mengayomi agar politik di kampus tetap sehat. Dengan mengambil langkah bijak, putusan MK ini dapat menjadi peluang untuk membangun politik yang lebih dinamis setelah lebih dari dua dekade reformasi, ” ucapnya. (*)
Penulis: Satriyani Dewi Astuti
Editor: Binti Q. Masruroh